Kegiatanpun dimulai, hari jum'at tepatnya sore hari, kami ber-8 (ana, mita, putri, adi, bagja, wildan, sabda, dan saya tentunya) dikumpulkan di pinggir gedung pentagon untuk upacara pelepasan. Setelah itu, kami melakukan longmarch menuju gunung batu (tebing cikidang-lembang).
Hari demi hari kami lalui, siang dan malam, panas dan hujan, tak menyurutkan langkah kami. Sayangnya semangat saya tidak didukung oleh sepatu yang saya pakai. Bisa dibilang sepatu saya akan berakhir hayatnya, solnya mulai berontak melepaskan diri dari tempatnya. Bagian bawah sepatu juga sudah mulai hancur karena medan yang dilalui cukup keras. Situasi seperti ini membuat saya tidak nyaman melakukan longmarch.
Hari kedua, di maribaya saya melapor kepada instruktur, saudara theo seingat saya hanya menyuruh saya untuk memperbaiki sepatu saya. Sungguh susah untuk memperbaiki sepatu itu, karena sepatu itu hampir rusak parah, dan saya pun tidak ahli mensol sepatu. Berbagai cara saya lakukan, mulai dari membungkusnya dengan lakban, sampai membidainya dengan dahan dan tali rapia, tapi hal itu percuma, sepatu saya kembali sekarat.
Hari selanjutnya pun semakin tidak nyaman, medan yang dilalui sangatlah sulit. Kondisi sepatu saya mencapai klimaks, setengah bagian bawah sepatu saya lepas, sehingga menambah rasa sakit saya untuk melangkahkan kaki. Mungkin kelihatannya saya bersepatu, tapi sepatu itu tidak beralas, sama saja dengan nyeker atau tidak memakai alas kaki. Kondisi pun diperparah dengan turunnya hujan dan jalan yang bercampur dengan batu kerikil. Aaarrgghhh...
Titik camp waktu itu adalah di daerah keramat, jam 5 kami baru melakukan setengah perjalanan. Beberapa teman saya tampak kelelahan, bahkan salah satu teman saya pingsan ditengah jalan. Perjalanan kami pun semakin melambat. Kaki samakin berat untuk dilangkahkan, rasa lapar dan haus bercampur dengan keringat dan guyuran hujan. Tapi dengan sisa semangat kami yang masih menyala, kami tetap melakukan perjalanan.
Sekitar jam 7, kami tiba di camp keramat. Instruktur sudah siap di pos untuk memberikan instruksi selanjutnya. Ditemani guyuran hujan, kami mendirikan tenda masing2, memasak lalu makan.
Waktu evaluasi pun tiba, kami dibariskan oleh instruktur. Seperti malam-malam sebelumnya, suasana evaluasi bisa dibilang menegangkan. Angin malam berhembus diantara barisan pohon pinus, suara-suara instruktur terdengar nyaring di telinga. Lampu senter berkelap-kelip menyorot wajah kami. Yang kami lakukan hanya diam, mendengarkan dan menurut saja.
"Siapa yang mau mengundurkan diri?" tanya seorang instruktur kepada kami. Tak disangka, teman saya yang barusan pingsan mengangkat tangannya. Dia sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan dan minta dipulangkan. Instrukturpun memisahkan dia dari kami. Entah apa yang mereka lakukan padanya, saya tidak tahu. Akhirnya keputusanpun segera diambil, teman saya tetap bersikukuh untuk berhenti dan tidak melanjutkan perjalanan. Sangat disayangkan sekali.
"Siswa! Siapa yang mau mengundurkan diri lagi? Lebih baik mundur sekarang daripada nanti. Medan hari esok akan lebih berat dari hari ini!!!" teriak salah seorang instruktur yang bernama Dudu. Tanpa banyak berpikir saya langsung mengangkat tangan saya. Seketika itu juga semua instruktur berdiri, membentuk bayangan yang dipantulkan cahaya bulan. Bagi saya, kumpulan bayangan itu terlihat seperti monster yang siap menerkam. Cahaya senter pun seluruhnya mengarah kepada wajah saya. Saudara dudu lalu manghampiri saya sambil berujar "onta, kamu mau pulang???". "MAPAD LAPOR, SEPATU SAYA RAJET, saya mau pinjam sepatu temen saya" teriak saya. Seketika itu juga saya mendengar suara cekikikan dari para instruktur. Lalu setelah itu salah satu instruktur bernama Yogi berteriak; "Geus weh ngaran rimba maneh RAJET!".
Sejak kejadian itulah saya diberi nama rimba "rajet". Sepertinya, kalau tidak ada kejadian itu, para instruktur akan sulit untuk mencari nama saya, karena ketika diklat lapangan saya bermain cantik dan tidak melakukan blunder... hehehe
Sayangnya, dari 8 orang yang mengikuti pendidikan, hanya 1 orang yang gugur di tengah jalan, walaupun gugur, tetap saya anggap sebagai saudara. Berikut adalah nama rimba saudara seangkatan saya, yang mungkin punya sejarah sendiri di dalam namanya;
- Adi Rahmadi, nama rimba "tengor" (beuteung goreng)
- Wildan, nama rimba "panji" (panon hiji)
- Erik Subagja, nama rimba "jempol"
- Fitriana, nama rimba "bentar"
- Lismita Maya, nama rimba "bedu" (beungeut jamedud)
- Putri, nama rimba "recet"